Saat berwisata ke Malioboro, berjalan dari Tugu Pal Putih menuju titik nol km atau sebaliknya sudah menjadi hal yang biasa dilakukan, terutama bagi mereka yang hobi belanja atau sekedar berfoto. Beberapa wisatawan juga memilih Kraton sebagai tujuan utama saat berwisata. Padahal Jogja bukan hanya Malioboro dan Kraton saja, masih ada banyak peninggalan sejarah disekitarnya yang menarik untuk dikunjungi dan digali sejaranya. Dalam event Jogja Cross Culture kali ini, aku bersama ke empat teman ku yang tergabung dalam satu tim mengikuti Historical Trail Jeron Journey, dimana kami akan mengelilingi kawasan dalam benteng milik Kraton Yogyakarta bersama tim lainnya yang merupakan perwakilan setiap kecamatan di Jogja dan masyarakat umum lainnya. Para peserta akan melewati 10 pos dengan masing-masing soal yang berbeda. Acara yang dikemas sebagai kompetisi ini merebutkan piala dan uang tunai dengan total Rp 6.000.000 . Peserta yang memenangkan kompetisi ini adalah tim yang sampai finish paling cepat dan memiliki point yang banyak, seru kan ?
Foto bersama sebelum keberangkatan (foto milik mbak Arry) |
Start/Pos 1
Diposisi ini, semua tim diperbolehkan membuka amplop setelah acara resmi dibuka. Didalam amplop tersebut berisi alat tulis dan soal yang harus dijawab dengan cepat dan di kumpulkan di pos 1 yang berada di sekitar panggung. Tak diduga, ternyata soal yang seharusnya mudah dijawab ini sedikit sulit karena tidak hafal.
"Sebutkan nama kecil Sultan Yogyakarta dari pertama hingga sekarang"
jeng jeng ..!! saatnya mengingat dan mengumpulkan hafalan. Mungkin karena Kami berlima terlihat kesusahan saat menjawab, ada seorang ibu yang memberi beberapa jawaban pada kami. Soal terselesaikan dan langsung di berikan pada panitia di pos 1. Jawaban yang benar dari soal tadi yaitu:
1. Pangeran Mangkubumi (Bendara Raden Mas Sujono)
2. Raden Mas Sundoro
3. Raden Mas Surojo
4. Gusti Raden Mas Ibnu Jarot
5. Gusti Raden Mas Gatot Menol
6. Raden Mas Mustojo
7. Raden Mas Murtejo
8. Gusti Raden Mas Sujadi
9. Gusti Raden Mas Dorojatun
Pos 2
Setelah mengumpulkan jawaban tadi, panitia di pos 1 langsung memberikan soal baru yang harus dikumpulkan di pos 2 nantinya.
"Tuliskan teks proklamasi"
Soal yang mudah nih, banyak yang tau dan hafal. Sambil menulis, kami terus berjalan mengikuti petunjuk yang tertera bersama soal. "Berjalanlah menuju alun-alun utara, kemudian belok ke arah terbitnya matahari. Ambillah foto bersama Tarunasura. Yang putih dan berdiri gagah lalu unggah ke Instagram". Maksudnya yaitu dari titik nol km, kita diarahkan menuju ke alun-alun utara kemudian belok ke timur atau belok kiri. Terus berjalan dan akan bertemu dengan Tarunasura yang putih dan gagah. Siapa dia ? coba lihat ini :
Plengkung Tarunasura (foto milik mbak Arry) |
Oleh warga Jogja, plengkung ini sering disebut Plengkung Wijilan karena berada di daerah Wijilan, Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta. Plengkung Tarunasura berada di timur Alun-alun Utara. Dinamakan Tarunasura karena dulunya pintu ini berisi prajurit-prajurit muda yang menjaganya. Bentuk bangunan Plengkung Tarunasura masih terlihat untuh meskipun beteng disisi kiri dan kanannya sudah hilang dan berubah menjadi pemukiman warga. Setelah foto bersama, dibalik Plengkung Tarunasura sudah ada panitia yang menunggu di pos 3. Upload foto sudah, jawaban dari soal tadipun juga sudah, Ini dia :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakandengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Pos 3
Setelah melewati pos 2, ternyata untuk menuju ke pos 3 jaraknya mulai terasa panjang. Jarak antar tim mulai terlihat saling berjauhan. Semangatpun semakin membara saat kami menyusuri kampung Mangunegaran. Sambil berjalan, kami menjawab soal ini :
"Tulis teks prasasti yang terdapat di benteng yang hilang"
Benteng yang hilang adalah Pojok Beteng yang berada di Timur Laut Kraton yang saat ini memang sudah tidak ada, hanya tersisa reruntuhan tembok berukuran kecil yang nampak seperti puing. Tembok ini dikelilingi pagar besi berwarna hijau. Hancurnya tembok pertahanan ini karena digempur oleh pasukan Inggris pada peristiwa geger sepoy. Dinamakan demikian karena pada waktu itu Inggris mengerahkan pasukan bayaran dari India yang disebut sebagai Pasukan Sepoy. Penyerangan ini terjadi pada tahun 1812 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Maka dari itu untuk mengingat tragedi tersebut dibuatlah prasasti seperti ini.
Tembok yang tersisa (sumber foto: https://m.kumparan.com/tugujogja/pembangunan-kontstruksi-jokteng-timur-laut-akan-dimulai-tahun-2020-1qxlv8zxsKB
Baca juga sekilas tentang Geger SepoyPos 4
Capek gaess 😫 setelah tadi berpikir bahwa rute sebelumnya tambah panjang, ternyata menuju pos ke 4 lebih panjang dan jauh lagi. Rasa haus mulai datang, kakipun ikut bergetar. Saat sampai di pos 4 ini, tepatnya disekitar Plengkung Madyasura kami dijelaskan sedikit mengenai sejarahnya. Bahwa plengkung yang terletak di sisi timur Kraton Yogyakarta ini juga dikenal dengan Plengkung Buntet yang pernah ditutup pada 23 Juni 1812. Plengkung ini pernah mengalami pemugaran dan disulap menjadi gapura saat masa pemerintahan Sri Sultan HB VIII.
Plengkung Madyasura saat ini (sumber foto: https://krjogja.com/web/news/read/3144/Lima_Plengkung_Kraton_yang_Sarat_Sejarah) |
Pantang menyerah ! kamipun mendapat lembar petunjuk berupa rute menuju ke pos 5 nantinya. Di rute ini kami tidak mengerjakan soal ya. "Susuri jalan Mantrigawen Lor sampai jalan Gamelan dan pilih lokasi untuk kalian berfoto ria, ambil 2 foto di dua tempat berbeda selama perjalanan. Kemudian temui pejuang yang membawa bambu runcing, dan tunjukkan pada penjaga"
Pos 5
Dulunya kampung Mantrigawen merupakan tempat tinggal Abdi Dalem kepala pegawai keraton, sedangkan Kampung Gamelan merupakan tempat tinggal Abdi Dalem Gamel yang bertugas mengurus kuda milik Sultan. Secara administratif kedua kampung ini berada di wilayah Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton. Meskipun bersejarah, saat ini beberapa warga setempat bukanlah keturunan asli dari Keraton. Lalu, setelah menunjukkan 2 foto yang berhasil di upload ke Instagram, kita dapat soal lagi nih "Sebutkan 7 tokoh pemimpin Indonesia"
Foto bersama di kampung Mantrigawen (foto milik mbak Arry) |
"Berjalanlah menyusuri Jalan Gamel sampai Lengenastran Kidul dan bertedulah dipohon Ringin Kurung".
Pos 6
Langenastran dulunya merupakan kampung tempat tinggal Abdi Dalem prajurit pengawal Langenastra. Selama masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan Hamengku Buwono IV, Prajurit Langenastra termasuk dalam prajurit kadipaten, prajurit pengawal putra mahkota yang bertempat tinggal di Istana Sawojajar. Kampung ini berada di sebelah timur Alun-Alun Selatan dan secara administratif berada di Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton. Perjalanan dari pos 5 menuju ke pos ini tidak terlalu jauh, jadi jajan dulu nih buat ganjal perut. Pos 6 berada di antara dua beringin di alun-alun selatan. Cocok nih buat istirahat sambil ngemil. Eh ! tapi udah harus lanjut lagi ke pos 7 sambil ngerjain soal ini :
1. Carilah makna tentang Sasono Inggil Dwi Abad
2. Carilah makna tentang Dwi Naga Rasa Tunggal
Karena soalnya lumayan gampang tapi agak susah, loh gimana ini ? Jadi kami dibantu google deh, terus ketemu nih kalau ternyata Sasono Inggil Dwi Abad yang terletak di sebelah Utara Alun-Alun selatan memiliki makna Siti Hinggil yang berarti Tanah Tinggi. Tempat ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I dengan permukaan tanah pada bangunan yang ditinggikan.
Sedangkan makna dari Dwi Naga Rasa Tunggal adalah sebuah sengkalan memet bergambar naga yang terdapat di Keraton Yogyakarta. Hiasan tersebut dipasang oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I untuk menandai istana baru pada September 1756. Dwi artinya 2, Naga artinya 8, Rasa artinya 6 dan Tunggal artinya 1, sehingga saat 4 angka (2-8-6-1) dibaca dari belakang maka akan menjadi 1682 yang merupakan tahun awal pemakaian Keraton tersebut. Selain itu, nama Dwi Naga Rasa Tunggal juga memiliki makna simbolis yakni "kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun".
Sumber foto : https://mobile.twitter.com/infojogja/status/937830193217003520 |
Sedangkan makna dari Dwi Naga Rasa Tunggal adalah sebuah sengkalan memet bergambar naga yang terdapat di Keraton Yogyakarta. Hiasan tersebut dipasang oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I untuk menandai istana baru pada September 1756. Dwi artinya 2, Naga artinya 8, Rasa artinya 6 dan Tunggal artinya 1, sehingga saat 4 angka (2-8-6-1) dibaca dari belakang maka akan menjadi 1682 yang merupakan tahun awal pemakaian Keraton tersebut. Selain itu, nama Dwi Naga Rasa Tunggal juga memiliki makna simbolis yakni "kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun".
Setelah selesai menjawab soal, kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan rute yang tertera. "Carilah tetenger di sekitar Ndalem Prabeya". Susurilah halaman belakang Kraton dan ambillah foto bersama kemudian unggah ke Instagram.
Pos 7
Perjalanan menuju pos 7 ini sedikit membingungkan. Kami berjalan menuju ke belakang gedung Sasono Inggil dan masih mencari dimana letak Ndalem Prabeya yang merupakan Pawon atau dapur yang bertugas menyiapkan Dhahar Dalem hidangan sehari-hari Raja. Pawon ini sudah dikenal sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Saat ini Pawon Prabeya setiap hari bertugas menyediakan Ladosan Dhahar Dalem yang diantar oleh Abdi Dalem Gladhag menggunakan jodhang.
Saat berada di halaman belakang Kraton (foto milik mbak Arry) |
Untungnya ada banyak warga yang sedang kerja bakti kampung yang bisa kami tanyai tentang tempat ini. Setelah diarahkan, ternyata letak Ndalem Prabeya berdekatan dengan Kraton. Jadi, setelah menyusuri halaman belakang Kraton dan foto bersama, kami melanjutkan perjalanan untuk mencari tetenger. Nah di pos 7 ini kami mendapat soal dan rute lagi seperti ini :
"Tulis makna dari tetenger yang kamu temukan lalu berjalanlah menuju ke barat ke arah beringin dan telusuri jalan tikus ke arah gunung merapi dan temukan alat penunjuk waktu"
Tetengar yang dimaksud adalah semacam tugu yang berisikan tulisan aksara jawa. Tetenger sendiri adalah penanda, tetenger disini memiliki makna bahwa setiap abdi dalam yang melewati kawasan tersebut tidak diperbolehkan untuk menaiki sepeda atau jenis kendaraan lainnya. Maka, abdi dalem hendaknya berjalan kaki saat memasuki Dalem Prabeya
Tetenger Dalem Prabeya (foto milik mbak Midi) |
Untuk menjawab soal kali ini kami di bantu warga sekitar karena kesulitan mencari di google ataupun mengartikannya sendiri. Sembari duduk di bawah beringin, jangan lupa makan. Jajan lagi dong. Setelah itu lanjut jalan kearah selatan dan melewati jalan perkampungan daerah tamansari yang banyak dijumpai toko baju.
Pos 8
Terus berjalan dan kamipun menemukan alat penunjuk waktu, yaitu tugu jam yang berada di dekat Kraton. Disana banyak tim yang sudah berfoto bersama jam besar tersebut. Kenapa ya ? Ternyata setelah mengumpulkan jawaban sebelumnya, kami mendapat soal baru lagi yang simpel
"Ambillah foto bersama prasasti ngejaman dan unggah ke Instagram dengan caption semenarik mungkin dan gunakan hastag: #JeronJourney #Jogjaday2019 #JogjaBudaya kemudian tag @Dinaskebudayaankotajogja @Jogjacrossculture" Berjalanlah kearah Gunung Merapi dan menuju ke tempat arsip bersejarah terdekat.
Foto bersama Ngejaman (foto milik mbak Arry) |
Prasasti Ngejaman ini berupa monumen berbentuk jam untuk mengabadikan hubungan persahabatan antara masyarakat Tionghoa, pegawai Gubermen dan Kraton Yogyakarta. Pegawai Gubermen adalah pegawai Pemerintah Hindia Belanda pada masanya. Kebersamaan yang berhasil dirajut masyarakat dalam multikultural, mendapat peneguhan dari Kraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ngejaman ini terletak di Jalan Rotowijayan, tak jauh dari pintu masuk wisata Kraton Yogyakarta.
Berjalan lanjut kearah Gunung Merapi berarti menuju ke alun-alun utara. Kemudian menuju ke tempat arsip bersejarah. Dimanakah itu ? aku pikir juga sama, museum Sonobudoyo.
Pos 9
Saat akan menuju ke museum Sonobudoyo ternyata kami salah arah. Pos 9 yang sebenarnya berada di alun-alun utara, tepatnya didepan Kraton. Untung saja ada panitia yang memanggil, kalau tidak ? yasudah. Di pos 9 ini kami hanya mengumpulkan foto dan langsung pergi menuju pos 10 karena panitia tak memberi soal lagi untuk menuju ke pos terakhir ini. Aku pikir karena pos terakhir merupakan garis finish ? ternyata tidak. Setelah berjalan melewati beringin, tim lain terlihat seperti mengerjakan soal. Kamipun putar balik untuk kembali meminta soal baru di pos ini.
"Ambil foto bersama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru dan unggah ke Instagram dengan caption semenarik mungkin"
(foto milik mbak Arry) |
Di tengah alun-alun utara berdiri dua buah beringin kurung yang bernama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru. Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa yang berarti Tuhan dan ndaru yang berarti wahyu. Pohon ini berada di sebelah barat dari garis sumbu filosofis. Bersama-sama dengan Masjid Gedhe yang juga berada di sebelah barat garis sumbu filosofis, pohon ini memberi gambaran hubungan manusia dengan Tuhannya. Penempatan ini adalah wujud bagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I secara cerdas menggambarkan konsep Islam habluminallah. Sementara Kiai Janadaru yang bermakna lugas pohon manusia, bersama dengan Pasar Beringharjo, berada di sisi timur dari sumbu filosofis. Hal ini melambangkan hubungan manusia dengan manusia, sebuah konsep Islam hablumminannas.
Pos 10
Akhirnya sampai juga di pos terakhir. Disini kami hanya mengumpulkan foto dari pos sebelumnya dan diminta untuk bercerita singkat selama perjalanan dari pos 1 sampai pos 10 ini. Lelah ini terbayarkan ketika kami diarahkan untuk ke garis finish mengambil konsumsi.
Para pisang yang dimakan paling belakangan hehe (foto milik pribadi) |
Untuk pemenang Historical Trail 2019
Juara 1 diraih tim Nomor 04 (peserta umum), Juara 2 Nomor 34 dari Kecamatan Ngampilan, Juara 3 Nomor 25 dari Kecamatan Gondomanan, dan pemenang TerJourney Nomor 01 (peserta umum), TerJeron Nomor 02 dari Kecamatan Gedongtengen. Siapapun pemengangnya, Kompetisi ini hanyalah bumbu dalam mendapatkan pengetahuan budaya di Jeron Beteng Kraton Yogyakarta. Tetap semangat dan sampai jumpa di Jogja Cross Culture 2020 !
Sumber:
https://www.kratonjogja.id
https://id.m.wikipedia.org
https://krjogja.com
Juara 3 itu dari kecamatan tempatku tinggal. Horeee hihihi..
BalasHapuswah selamat nih, tahun depan gantian aku ya hehe
Hapusselamat ya mbak hehe
HapusSeru banget mbak acaranya. Kudu bawa minum sendiri ya benernya. Plus camilan buat di jalan. Hehe. Ini kayak yang acara di televisi itu apa namanya? Amazing race? Nah, tapi dibalut historical
BalasHapusiya nih, satu botol air ternyata ga cukup buat di perjalanan. nyesal juga ga bawa makanan dari rumah hehe
HapusSeruu... Besok ikut lagi ya kalau ada event yang sama. Btw aku jadi tahu knp kita dikasih hitam pas di bekas benteng geger sepehi itu... Kita ga kasih jawaban gaess.. Kita ga tulis teks yang tertulis di situ. Cuma unggah foto saja.. Haha...
BalasHapusiya eh ternyata haha
HapusWahhhh aku jadi pengen maen ke kampung mantrigawen kwkwkwk lucu ya namanya. berwisata sambil sinau sejarah
BalasHapusiya nih mbak, yuk tahun depan ikutan
Hapuskok seru sih mbaa,hehe,, tapi ini acara untuk kecamatan saja kah?
BalasHapusbisa untuk umum juga kak, tahun depan ikut ya
HapusAsyik banget acaranya, kok nggak ajak2 sih jadinya aku cuma tau dari artikel temen-temen... padahal pengen ikutan lhoo...
BalasHapustahun depan ikut ya mbak, kita barengan hehe
HapusWuah seru juga. Jalannya lumayan jauh, he, he.
BalasHapuscapeknya juga kerasa nih mbak
HapusMbak, event Jogja Cross Culture ini tahunan kah? Pengen ikutan event yang semacam ini. Dulu pernah ikutan jelajah lereng Merapi, setelahnya gak bisa ikutan lagi
BalasHapusini event tahunan kok mbak, jadi tahun depan masih bisa ikutan
Hapushwwaaaa seru banget bisa jalan-jalan menelusuri sejarah, akkk mupenggg pengen ikutttt
BalasHapusayo ayo tahun depan masih ada, kita seru-seruan bareng yang lain
HapusOalah satu kelompok sama Kak Mida. Jadi gimana perasaan setelah sampai rumah? Gempor tapi nagih kan yak
BalasHapusnagih pol, apalagi punya temen baru seperti kak Mida.
HapusWaktu liat foto temen temen bloger pada bersliweran di IG tuh rasane pengen ikutan, huhuhuhu. Kagetnya kok ya ada si Mida juga^^
BalasHapusnyesel deh mbak kalau ga ikut hehe. Aku juga baru pertama ketemu nih sama Kak Mida, senangnyaa
HapusWalaupun keliling jeron beteng, namun ternyata rutenya panjang dan jaraknya cukup jauh juga ya.. Btw asyik banget dapat ilmu seputar kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Daku malah belum pernah masuk kraton hiks..
BalasHapusayo mbak semangat , kita ikut lagi tahun depan supaya sama2 lebih mengenal Kraton dan sekitarnya.
Hapusselfienya kok ditutupi daun e mba..hhahaha..keren acaranya
BalasHapusiya mbak terlalu dekat hehe
HapusHuuu keren banget. Jalan jalan menelusuri sejarah. Jadi pingin..
BalasHapusApalagi yogya adalah kota impian
ayo kak ke jogja, nanti jalan2 bareng deh
HapusSeru banget ya Mbak jalan-jalan sambil belajar sejarah! Tetap harus bawa amunisi ya, minum, dan cemilan bair gak kelaperan di jalan hihi. Moga saya bisa ikutan acara kyak gini di lain waktu :D
BalasHapuslain kali ikutan ya kak, sayang banget klo acara kaya gini dilewatkan gitu aja
HapusAh seru banget ini, bener belajar sejarah dengan cara yang menyenangkan ya dan pastinya tim kudu rebutan kompak2an nih hihiw
BalasHapusiya seru banget dan kudu cepet juga
HapusWahh puas yaa,, senengnya dapet edukasinya juga dapet
BalasHapuslengkap kan
HapusJogja oh Jogja, sudah dari dulu mengundang saya untuk kesana, namun apa daya saya harus fokus mengerjakan tugas akhir, Wait me ya jogja karena sudah membaca blog ini kudu harus ke sana ni hehe
BalasHapussemangat tugas akhirnya kak, besok jalan2 di jogja ya
HapusSeruu banget .. belajar sejarah sambil jalan-jalan. Asiqqqq
BalasHapuspasti asik dong
HapusJalan-jalan sambil belajar sejarah, sambil menikmati pemandangan Jogja..
BalasHapusApalagi kalau versi jalan kaki itu dapat momennya beda ya kak..
Seru banget, jadi pengen ikutan
Jadi pengen kesana untuk menikmati keseruannya.
BalasHapustahun depan ada lagi, silahkan datang ya kak
Hapus